Kamis, 09 Juli 2015

Konsekuensi Terlogis Menjadi Muslim Adalah Kaya Raya

Bismillahirrahmanirrahim 
          Bermula dari adanya pertanyaan dari seorang anonim di akun ask.fm beberapa bulan yang lalu, tentang agama yang tak bisa membuat kita kaya. Mengingatkan pada pertanyaan serupa yang justru sempat pula hadir di benak saya, mungkin saat itu awal tahun 2010. Banyak sekali jawaban yang malah tak masuk akal, sementara islam sendiri mengajarkan kita untuk berfikir. Ya, berfikir. Dan Alhamdulillah tahun lalu saya mendapat jawaban akademis mengenai konsep ini dari salah seorang guru, Pak Yosis. Maka dengan banyaknya keterbatasan ilmu, saya coba membahas konsekuensi terlogis menjadi seorang muslim adalah kaya raya.

A. Apa Agama Mendidik Kita Untuk Merasa Miskin?

         Entah dengan agama lain, dalam islam Allah sungguh tak pernah mendidik kita untuk merasa miskin. Misalkan bukti pada surat An-Najm ayat 44-45 terdapat keterangan yang saling bersandingan.
          Lawan kata dari mati adalah hidup (ayat 44).
"dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan." (QS. 53 : 44).
          Lawan kata dari perempuan adalah laki-laki (ayat 45).
"dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan." (QS. 53 : 45)
       Justru berbeda pada ayat ke 48 pada surat yang sama (An-Najm), di mana konsep Allah menyandingkan kata kaya dengan berkecukupan, bukan kaya dengan miskin. Lawan kata kaya adalah cukup.
"dan bahwasanya Dia yang memberikan, kekayaan dan memberikan kecukupan." (QS. 53:48).
          Iya, islam sungguh tak pernah mendidik kita untuk bermental miskin. Hanya rasa tak bersyukur saja yang membuat orang merasa miskin.

Minggu, 26 Oktober 2014

Nabi Isa Sudah Wafat



Bismillahirrahmanirrahim
          Menyoal tentang adanya anggapan di sebagian saudara muslim kita, bahwa Nabi Isa belumlah wafat, melainkan diangkat oleh Allah dalam keadaan berjasad (bernyawa, ruh masih mendiami jasad), kemudian Nabi Isa akan diturunkan ke bumi untuk memerangi dajjal. Konsep pemikiran seperti ini sangat mirip dengan keyakinan umat kristiani dan yahudi pada teologi mereka tentang kepercayaan Mesiah, ataupun Adventisme, di mana Sang Juru Selamat akan menumpas semua roh jahat, juga semua mahluk akan mengikuti keyakinan mereka.

A.    Anggapan Nabi Isa Telah Wafat dan Akan Bangkit Sebelum Hari Kiamat

          Kita mulai saja dengan memperhatikan terjemahan dari surat maryam ayat ke 33, yaitu:

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam: 33) 

          Secara seksama, dalam arti surat maryam ayat 33 disebutkan bilangan nominal yang sama, yaitu  hanya satu kali. Nabi Isa mengalami satu kali kelahiran, satu kali kematian dan satu kali kebangkitan. Seperti kita ketahui bahwa setiap manusia memang akan dibangkitkan kembali pada saat terjadinya hari kiamat.
          Lantas, ketika sebagian saudara kita beranggapan Nabi Isa akan bangkit sebelum hari kiamat, maka ayat tersebut harusnya memliki arti yang lain, Nabi Isa akan mengalami dua kali mati, dan dua kali bangkit. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak terjemahan surat maryam pada ayat ke 15, yaitu:

Kesejahteraan atas dirinya (Yahya) pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia berbangkit hidup kembali. (QS. Maryam:15)

          Ya. Surat Maryam ayat ke 15 memiliki redaksi kalimat yang sama dengan ayat 33. Pembedanya adalah pada ayat 33 subjeknya Nabi Isa (Diterangkan pada ayat selanjutnya, ayat 34), sedangkan pada ayat ke 15 yang jadi subjek adalah Nabi Yahya (Diterangkan pada ayat sebelumnya, ayat 12).
          Tentu jika ada anggapan Nabi Isa akan berbangkit pada hari sebelum kiamat yang bersandar pada Surat Maryam ayat 33, maka anggapan tersebut harus konsekuen dengan ayat ke 15 pula, bahwa Nabi Yahya pun akan berbangkit pada hari sebelum kiamat, bukan pada hari kiamat bersama seluruh umat manusia. Tentu tidaklah demikian. 

Do'a Tanpa Dalil yang Umum Digunakan (Do'a Berbuka Shaum, dan Do'a Untuk Kedua Orangtua)



          Bismillah, pada kesempatan kali ini saya akan menuliskan tentang dua do’a yang biasa atau umum digunakan. Namun sayangnya, saat ditela'ah lebih jauh, ternyata do’a tersebut tak memiliki dalil atau tanpa sumber. Biasa digunakan bukan berarti bisa menjadi jaminan keshahihannya. 
         Memang pada hakikatnya, do’a bisa dilakukan dalam berbagai bentuk (bahasa), tapi bila sudah ada patokan do’a yang dicontohkan, maka dilaranglah kita berdo’a menggunakan bentuk (bahasa) yang dikehendaki.

1.     Do'a Berbuka Shaum
Pada saat ramadhan, doa yang biasa kita dengar saat berbuka shaum, baik di hampir semua media elektronik maupun beberapa majelis adalah Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa 'ala rizq-ika aftarthu”, do’a tersebut memiliki arti  “Ya Allah, kepada-Mu aku shaum dan kepada-Mu aku berbuka.”
Do’a tersebut telah dinilai dhaif oleh al-Albani dalam kitab Shahih wa Dhaif Sunan Abu Daud. Dalam kitab tersebut Abu Daud berkata:

‘Musaddad telah menyampaikan kepada kami, Hasyim telah menyampaikan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi Muhammad berbuka shaum, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’

          Sekilas, memang lengkap betul riwayat yang tertulis, sehingga mungkin sebagian media informasi di Indonesia sedikit tergesa-gesa dalam menyimpulkan derajat keshahihan hadits di atas. Untuk itu, mari kita perhatikan lagi nama-nama perawi yang disebutkan di atas. Tersebutlah nama Mua’dz, dan hampir semua ulama telah sepakat bahwa Mua’dz ini tidak dianggap sebagai perawi yang tsiqah (tsiqah secara bahasa adalah terpercaya), hanya Ibnu Hibban yang memasukkan nama Mua’dz sebagai perawi yang tsiqah.
         Sementara kita ketahui bahwasanya Ibnu Hiban terkenal di kalangan ulama sebagai orang yang matasahil (bermudah-mudahan dalam menentukan keshahihan hadits).
         Penguat dari keterangan tersebut adalah adanya pendapat yang menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Tentulah hadits ini mesti menjadi mursal (di atas tabi’in terputus). Perlu diketahui bahwa hadits mursal tergolong dha’if karena  sanad yang terputus. Dari uraian di atas, semoga jelaslah bahwa hadits tersebut diragukan derajat keshahihannya, ataupun tergolong hadits yang dha’if.

Minggu, 12 Oktober 2014

Pandangan Islam Terkait Perayaan dan Pengucapan Selamat Ulang Tahun (Selamat Ulang Tahun, Selamat Milad, Do'a dan lain sebagainya).


Bismillah.
          Alhamdulillah, akhirnya diberi waktu olehNya untuk menulis lagi. Jujur saja, hal pertama yang terlintas untuk dituliskan adalah pandangan islam mengenai perayaan dan ucapan selamat ulang tahun atau selamat milad, apapun itu bentuk ucapannya (termasuk do’a) saya kategorikan sebagai salah satu bentuk peringatan. InsyaAllah saya mulai dengan penjelasan singkat maksud awal perayaan ulang tahun. Bismillah.

Maksud Awal Perayaan Ulang Tahun.
 
Awalnya, perayaan ulang tahun ini dimulai dari bangsa Yunani kuno (sampai sejauh ini, saya belum menemukan literatur definisi dari kuno yang dimaksud), mereka membuat kue dan juga (dalam kesempatan lain) berupa roti madu bundar, bentuknya menyerupai bulan. Pengaitan bundar dimaksudkan menyerupai bulan, kemudian kue itu dipersembahkan untuk Artemis. Menurut kepercayaan mereka, Artemis adalah ‘dewi bulan.’
Tidak sebatas sampai situ, mereka meletakkan lilin-lilin kecil di atas kue, hal ini mempertegas maksud pembuatan kue tersebut menyerupai bulan. Kemudian, kue berlilin tersebut dibawa menuju kuil Artemis, di sana mereka berdo’a (silent wish) di hadapan kue. Konyol. Mereka meyakini keinginan dan harapan akan terbawa ke tempat ‘para dewa’ dan  terkabul lewat media asap lilin.
Setelah selesai berdo’a, fulan pemilik hajat harus meniup lilin. Konon jika berhasil mematikan api dalam satu nafas berarti sebuah pertanda do'a akan terkabul dalam waktu dekat. Dan pada perkembangannya, orang-orang mulai menuliskan nama pada kue ulang tahun dengan keyakinan akan membawa keberuntungan bagi fulan pemilik nama, agar rezekinya tidak tertukar dengan orang lain. Menggelikan.
Setelah itu, kue dipotong dan dibagi-bagikan dengan asosiasi do’a akan terkabul, maksudnya dengan para tamu yang memakan kue tersebut disinonimkan sebagai pengaminan do'a. Sehabis kue disantap, mereka berpesta pora dengan kesesatan fikiran roh jahat (setan) akan pergi terusir oleh kebisingan. Secara keseluruhan, tradisi paganisme tersebut masih bisa kita saksikan di zaman sekarang dengan dalih syukuran.